CNNIndonesia.com merangkum beberapa kontroversi yang melibatkan Nikita Mirzani.
Kasus Pencurian Sepeda Motor Beromzet Milyaran Rupiah
Pada tahun 2019, polisi berhasil membongkar sindikat pencurian sepeda motor yang berhasil meraih keuntungan hingga miliaran rupiah. Kelompok ini mengincar sepeda motor yang berada di rumah atau di parkiran mal. Setelah diambil, mereka menjualnya melalui orang ketiga, atau dipotong menjadi suku cadang.
Kasus Pencurian dan Perampasan Kendaraan yang Terjadi di Indonesia
Pencurian dan perampasan kendaraan adalah salah satu bentuk kejahatan yang sering terjadi di Indonesia. Pelaku kejahatan ini umumnya melakukan aksinya di tempat-tempat umum seperti tempat parkir mall, stasiun, atau di tepi jalan. Berikut sejumlah kasus hukum pidana terkait pencurian dan perampasan kendaraan yang pernah terjadi di Indonesia:
Pencurian Kendaraan yang Berakhir dalam Kecelakaan
Sejumlah kasus pencurian kendaraan juga berakhir dengan kecelakaan. Pada tahun 2019, seorang maling berhasil mencuri sepeda motor dan menggunakaninya sebagai alat transportasi sehari-hari. Namun, ia tidak memiliki SIM dan membelok di jalan yang salah. Akibat dari kejadian tersebut, pencuri dan pengendara motor yang lain mengalami luka parah.
Kasus Penganiayaan Isa Zega
Dugaan penganiayaan lagi-lagi menjerat Nikita Mirzani pada November 2020. Kali ini, ia diduga menjadi otak di balik insiden penganiayaan yang dialami Isa Zega di sebuah kafe di Kalibata, Jakarta Selatan.
Dalam insiden itu, Isa Zega mengalami luka-luka memar pada bagian wajahnya. Proses hukum kemudian berlanjut hingga persidangan, tetapi putusan sidang menyatakan Nikita tidak terbukti menjadi dalang penganiayaan.
Nikita lalu 'menyerang' balik Isa Zega dengan melaporkan balik di Polres Metro Jakarta Selatan. Dalam prosesnya, Nikita Mirzani sempat terlibat cekcok dengan pengacara Isa Zega, Indra Tarigan.
Perampasan Kendaraan Dengan Jalan Kaki
Tak hanya melalui mobil ataupun sepeda motor, kejahatan perampasan kendaraan ternyata bisa dilakukan dengan jalan kaki. Pada tahun 2020, sekelompok orang berhasil merampas sepeda motor korban di tempat parkir dekat pusat perbelanjaan. Mereka kemudian membawa sepeda motor tersebut dengan cara berjalan kaki melintasi jalanan yang ramai hingga berhasil menghilang.
Terima kasih sudah membaca artikel ini mengenai 10 contoh kasus hukum pidana. Semoga informasi yang kami berikan dapat bermanfaat dan memperkaya pengetahuan Anda. Jangan lupa untuk selalu mengikuti perkembangan berita hukum terkini hanya di situs kami. Sampai jumpa lagi di artikel-artikel selanjutnya!
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
Andi Hamzah, Acara Pidana Indonesia, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta,1996.
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1983.
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung 2016.
Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) Urgensi dan Pengaturan Celah Hukumnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012.
Danrivanto Budhijanto,Revolusi Cyberlaw Indonesia Pembaruan dan Revisi UU ITE 2016, PT Refika Aditama, Bandung, 2017.
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2016.
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010.
Heru Sujamawardi, Analisis Yuridis Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, Volume 9 Nomor 2 April 2018, diakses pada 20 Oktober 2021.
I Gusti Made Jaya Kesuma, Ida Ayu Putu Widiati, I Nyoman Gede Sugiartha, Penegakan Hukum Terhadap Penipuan Melalui Media Elektronik, Jurnal Preferensi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Vol 1, No. 2, Denpasar, 2020, diakses pada tanggal 21 Oktober 2021.
Kartini Muljadi Gunawan Widjaja,, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Mastur, Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagai Tindak Pidana Non Konvensional, http://jurnalnasional.ump.ac.id, Vol. 16 No. 2, Juni 2016, diakses tanggal 25 Oktober 2021.
Moelyatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bumi Aksara, Jakarta, 1999.
Muhajir Effendy, Kamus besar bahasa Indonesia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2016.
Nurlaili Isma, Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Informasi Elektronik Pada Dokumen Elektronik Serta Hasil Cetaknya Dalam Pembuktian Tindak Pidana, jurnal penelitian hukum, volume 1 Nomor 2, juli 2014, diakses pada tanggal 15 Oktober 2021.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.
Ramiyanto, Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Hukum Acara Pidana, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 3, November 2017, diakses pada tanggal 18 Oktober 2021.
Remincel, Kedudukan Saksi dalam Hukum Pidana, Ensiklopedia of Journal Vol. 1 No.2 Edisi 2 Januari, 2019, diakses tanggal 10 November 2021.
Sindura Debri, Tinjauan Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Yang Tidak Disumpah Karena Keterbelakangan Mental Dalam Pemeriksaan Perkara Kekerasan Seksual, Gema, 2015.
Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik Studi Kasus : Prita Mulyasari, Rineka Cipta, Jakarta, 2009.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2019.
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2004
Sutrisno Hadi, Metode Reseach, Cet Ke 1, Yayasan Penerbit Psikologi UGM, Yogyakarta, 1990.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Widodo, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013.
Perhatian publik tengah tertuju pada sidang perkara pembunuhan berencana atas nama terdakwa
. Upaya mengungkap fakta di balik kematian
akibat ‘kopi sianida’ itu kini memasuki agenda pemeriksaan atas sejumlah saksi dan ahli. Saksi dari kafe Olivier, saksi kunci Hani Boon Juwita, hingga ahli IT telah didengarkan keterangannya di hadapan majelis hakim Kisworo, Partahi Tulus Hutapea, dan
. Kini, publik masih sabar menunggu bagaimana akhir dari drama persidangan yang telah digelar sebanyak belasan kali itu.
Sebetulnya, sangat banyak kasus dalam persidangan yang menarik untuk diikuti. Menarik, bisa diukur dari berbagai hal, bisa karena perkara itu belum pernah ada sebelumnya atau perkara itu melibatkan orang-orang penting pada insitusi publik atau pihak swasta tertentu. Kebanyakan, kasus yang mencuat dan menarik perhatian memang yang melibatkan tokoh dan petinggi bangsa.
mencoba menelusuri sejumlah kasus yang mungkin sempat ‘geger’ pada masa itu. Tentu, ukuran
ini maksudnya terbatas pada kasus yang masuk kategori ‘mega skandal’ yang melibatkan tak cuma satu aktor, melainkan oknum dari pihak penegak hukum serta aktor-aktor penting lainnya. Penasaran? Yuk simak sejumlah kasus yang menarik dan membuat
Mantan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Abdullah Puteh adalah kasus pertama sejak KPK dibentuk Desember 2003 silam. Kasus ini menjadi sorotan karena menjadi
yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sekira tahun 2004. Bahkan, kasus itu menjadi satu-satunya kasus yang disidangkan kala itu.
Singkatnya, peran Puteh dalam kasus korupsi pembelian helikopter MI-2 buatan Rusia mengantarkan ia ke penjara. Ia sebelumnya juga sempat mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, lewat argumen yang dipakai saat itu adalah tidak sahnya penyidikan yang dilakukan KPK lantaran Pengadilan Tipikor saat itu belum terbentuk. Tepat 13 September 2015, MA menolak kasasi yang diajukan oleh Puteh namun menerima permohonan kasasi yang diajukan
sekaligus membatalkan putusan pengadilan korupsi tingkat banding No. 01/TIK/TPK/2005/PTDKI tanggal 15 Juni 2005. Kasasi tersebut diajukan oleh keduanya namun dengan pertimbangan yang berbeda.
Tindakan sewenang-wenang berujung penganiayaan aparat kepolisian saat menangani perkara anak usia 15 tahun,
cukup mencuri perhatian publik. Sekira 8 Juni 2009 silam, Koko ditangkap aparat dari Polsek Sektor Bojong Gede dan dituduh mencuri perangkat elektronik. Koko bukanlah pelaku yang sebenarnya lantaran beberapa hari setelah penangkapan itu, pelaku sebenarnya telah tertangkap dan menyatakan bahwa Koko tidak terlibat sama sekali.
Beruntung, Putusan PN Cibinong No.2101/Pid.B/2009/PN.CBN pada 10 Agustus 2009 membebaskan Koko dari segala tuntutan jaksa dan meminta agar memulihkan hak-hak terdakwa secara kedudukan, harkat, serta martabat. Putusan itu sempat mendapat perlawan dari Kejari Cibinong dengan mengajukan kasasi. Hasilnya, 20 Januari 2010 hakim agung menolak kasasi tersebut. Koko dan keluarganya tidak tinggal diam atas apa yang terjadi.
Melalui LBH Jakarta, pada 29 februari 2012 keluarga Koko menggugat secara perdata ke PN Cibinong. Sebagai catatan, gugatan perdata kepada pihak kepolisian merupakan yang pertama kali. Sayangnya, PN Cibinong lewat putusan No. 36/Pdt.G/2012/PN.Cbn menolak gugatan tersebut. Namun, langkah berani dan pertama tersebut menjadi preseden ketika Kepolisian melakukan tindakan sewenang-wenang saat menangani perkara. Buktinya, gugatan perdata serupa di Padang, berhasil dikabulkan dan pihak Kepolisian mesti membayar ganti rugi Rp 100.700.
Senin, 17 Septembar 2012 silam majelis Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) membebaskan Prita Mulyasari dari seluruh dakwaan alias bebas murni. Melalui putusan PN Tangerang Nomor:1269/PID.B/2009/PN.TNG, majelis hakim menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan Prita dengan emailnya bukan termasuk pengertian menista.
Perjalanan kasus Prita cukup panjang. Awalnya, Prita diseret ke pengadilan atas tuduhan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri Tangerang gara-gara mengeluhkan pelayanan buruk RS Omni Internasioanal dengan menyebarkan sebuah email. Alhasil, Majelis PN Tangerang membebaskan Prita pada 2009, tetapi jaksa mengajukan upaya hukum kasasi dan kasasinya dikabulkan MA.
Selain perkara pidana, gugatan perdata juga dilayangkan RS Omni Internasional. MA menolak gugatan perdata Omni tersebut pada 29 September 2010 yang diputus oleh Ketua MA kala itu Harifin A Tumpa. MA membatalkan putusan PN Tangerang dan Pengadilan Tinggi Banten yang mengabulkan gugatan Omni dan memerintahkan Prita membayar ganti rugi atas perbutan pencemaran baik yang dinyatakan terbukti dilakukannya. Kasus ini memantik aksi solidaritas koin peduli prita yang berasal dari hasil sumbangan masyarakat, mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris, serta posko yang dibuka di berbagai daerah. Sumbangan senilai Rp825.728.550 juta terkumpul. Konser koin untuk keadilan Hard Rock Café 20 Desember 2009. Empat kali lipat denda yang harus dibayar prita ke Omni sebesar Rp204 juta.
Mantan Ketua KPK, Antasari Azhar divonis oleh hakim selama 18 tahun lantaran terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana terhadap bos PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnain pada 14 Maret 2009. Kasus ini menjadi perhatian banyak kalangan selain karena Antasari merupakan pimpinan lembaga yang sedang dinanti-nantikan kinerjanya, sekaligus adanya dugaan rekayasa kasus untuk menjegal karier Antasari.
Saat masih menjabat, Antasari memang dikenal cukup berani untuk menindak siapapun termasuk saat berupaya membongkar skandal di balik kasus Bank Century dan IT KPU yang tendernya dimenangkan oleh perusahaan milik Hartati Murdaya. Singkat cerita, majelis hakim memvonis Antasari selama 18 tahun, lebih rendah dibanding tuntutan pidana mati yang diajukan oleh penuntut umum.
Perseteruan KPK dan Polri berangkat dari penyadapan yang dilakukan KPK terhadap mantan Kabareskrim Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji akibat diduga menerima gratifikasi dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna karena berhasil memaksa Bank Century mencairkan dana nasabah itu sebelum akhirnya ditutup.
Dari kasus situ, muncul pertama kali istilah “cicak vs buaya” atas pernyataan yang dilontarkan Susno kepada awak media. Selain itu, dari kejadian itu pula akhirnya pada 2009 Polri melakukan ‘kriminalisasi’ kepada pimpinan KPK. Kasus yang menimpa dua Pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto menjadi skandal hukum terbesar saat itu.
Kasus itu berangkat dari rekaman percakapan Anggodo Widjojo dengan sejumlah orang. Mereka yang diduga terekam suaranya adalah Mantan Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Wisnu Subroto, Anggota Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) I Ketut Sudiharsa, dan beberapa penyidik Mabes Polri. Sedangkan nama Kabareskrim Susno Duadji, Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga, sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat tersebut dalam percakapan itu.
Anggodo merupakan adik tersangka buron korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan, Anggoro Widjojo. Kasus ini sempat diselidiki oleh Kepolisian dan kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Namun, karena alasan sosiologis, Kejaksaan Agung menghentikan perkara inidengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Tak terima dengan terbitnya SKPP itu, Anggodo Widjojo selaku pihak ketiga yang berkepentingan dalam posisinya sebagai pelapor dugaan tindak pidana Bibit-Chandra mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Majelis hakim mengabulkan praperadilan tersebut dan menyatakan penuntutan Bibit-Chandra harus diteruskan. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Lalu, pihak Kejagung mengajukan PK terhadap putusan itu.Akhirnya, Kejaksaan Agung melakukan
) perkara Bibit-Chandra, meski dengan catatan. Kejaksaan Agung masih akan mengevaluasi putusan PK jaksa atas pembatalan SKPP sebelum mengambil keputusan akhir.
‘Nyanyian’ Susno Duadji tentang dugaan mafia dalam kasus Gayus Tambunan, pegawai pajak yang disangka melakukan korupsi, penggelapan, dan pencucian uang. Ketika disidangkan di PN Tangerang, pasal tentang korupsi tak ada dalam surat dakwaan. Majelis hakim pun membebaskan Gayus dari segala dakwaan.
Untuk diketahui, Gayus terjerat dalam empat kasus yang berbeda antara lain
. Ia juga diganjar hukuman karena menggelapkan pajak. Lalu perkara korupsi yang melibatkan sejumlah perwira Polri diantaranya Komjen Susno Duadji. Ditambah lagi hukuman penjara penggelapan paspor di PN Tangerang.
Kasus yang menimpa bekas kepala korps lalu lintas Polri ini banyak dikutip setelah calon Kapolri Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka. Serupa dengan Gunawan, Djoko Susilo yang terjerembab lantaran kasus korupsi dalam proyek simulator ujian surat izin mengemudi itu sempat melawan KPK yang kemudian memicu perang “cicak vs buaya” Jilid II.
Kasus ini menjadi ‘janggal’ ketika KPK mengumumkan status tersangka Djoko Susilo, tiba-tiba Polri juga mengumumkan bahwa mereka juga sedang menyidik kasus yang sama dengan lima tersangka versi mereka. Dari sana timbul ‘rebutan’ kewenangan menyidik kasus korupsi tersebut. Keduanya sama-sama berkeyakinan paling berwenang memprosesnya.
Sekira Oktober 2012, aparat Kepolisian mengepung gedung KPK untuk menangkap salah satu penyidik KPK, Kompol
karena menjadi bagian penting dalam mengungkap kasus Djoko Susilo. Alasannya karena saat Novel bertugas di Bengkulu, ia pernah melakukan penganiayaan berat kepada para tersangka pencuri sarang burung walet.
Presiden Susilo Bambang Yudhowono akhirnya menengahi kedua institusi dan menetapkan sejumlah poin diantaranya kasus Djoko Susilo ditangani KPK dan kasus Novel dari segi waktu dan cara tidak tepat dilakukan saat itu.
bersalah sampai di tingkat Kasasi MA dan dihukum pidana penjara selama 18 tahun.
Penangkapan Rudi dianggap sebagai sebuah pukulan mengingat mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas) ini dikenal sebagai pribadi yang bersih dan jujur. Nyatanya Rudi menerima suap dari Kernel Oil senilai AS$ 400 ribu. Majelis hakim yang diketuai Amin Ismanto
Rudi dengan pidana tujuh tahun penjara dan denda Rp200 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Ia terbukti bersalah melakukan pencucian uang bersama-sama sebagaimana dakwaan kesatu primair pertama, Pasal 12 huruf a, dakwaan kedua, Pasal 11 UU Tipikor, dan dakwaan ketiga, Pasal 3 UU TPPU jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Terhadap putusan itu, Rudi tidak mengajukan banding.
Senin 16 Juni 2014, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar divonis hukuman
dan denda Rp10 miliar karena menerima hadiah terkait pengurusan 10 sengketa pemilihan kepala daerah di MK dan tindak pidana pencucian uang. Catatan
sejumlah Rp47,78 miliar plus AS$500 ribu dari sejumlah pihak sejak tahun 2010. Untuk sengketa Pilkada Gunung Mas, Lebak, Palembang, Lampung Selatan, dan Empat Lawang dan Jawa Timur. Selain itu, Pilkada Buton, Morotai, Tapanuli Tengah.
Atas putusan itu, akhirnya Akil mengajukan kasasi namun MA menolak permohonan tersebut sehingga hukuman Akil tetap seumur hidup. Pertimbangan MA saat itu, kata anggota Majelis Hakim Profesor Krisna Harahap menjelaskan bahwa sebagai seorang hakim MK, sudah semestinya berindak sebagai negarawan sejati yang steril dari perbuatan tindak pidana korupsi.
Selain itu, karier sebagai Ketua MK juga berakhir setelah Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKK) menjatuhkan sanksi berat pemberhentian tidak dengan hormat alias
dikarenakan melanggar beberapa prinsip etika yang tertuang dalam Peraturan MK No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sejak 11 November 2013.
Ratu asal Banten ini sedang menancapkan kekuasaannya yang menggurita di Provinsi Banten ketika KPK mengubah statusnya menjadi tersangka. Sang gubernur terjungkal kasus pengadaan alat kesehatan dan dugaan suap terkait penanganan sengketa pilkada Lebak, Banten. Politisi Golkar ini
hukumannya oleh MA dari
menjadi tujuh tahun penjara.
Tak cuma itu, adik Ratu Atut, Tubagus Chaeri Wardana alias
juga terlibat dalam kasus yang sama. Wawan juga terlibat dalam kasus sengketa pilkada Lebak dan dugaan tindak pidana pencucian uang dugaan korupsi alat kesehatan. Dalam kasus sengketa pilkada Lebak, wawan divonis tujuh tahun penjara
Perempuan yang sudah malang melintang di Bank Indonesia ini resmi menjadi tersangka pada Januari 2012 dalam kasus
. Duit tersebut dikucurkan selama berlangsungnya pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Periode 2004. Miranda kemudian divonis menginap tiga tahun di balik jeruji besi.
Selain Miranda, kasus yang berkaitan dengan BI adalah kasus bekas Gubernur BI,
. Dia dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tipikor karena menggunakan dana milik Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) senilai Rp 100 miliar untuk bantuan hukum lima mantan pejabat BI, penyelesaian kasus BLBI, dan amandemen UU BI. Ia divonis tiga tahun penjara. Selain itu, kasus yang sama juga menjerat
, Aulia Pohan yang terjerat dalam kasus yang sama dengan Burhanuddin Abdullah. Pohan yang kala itu menjabat sebagai Deputi Gubernur BI divonis penjara tiga tahun.
Urip Tri Gunawan tertangkap tangan oleh KPK saat menerima duit AS$610 ribu dari
di rumah obligor BLBI Syamsul Nursalim. Urip
20 tahun penjara. Sedangkan Arthalita mendapat vonis 5 tahun penjara. Saat ditangkap, Urip masih aktif sebagai jaksa untuk kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Nazaruddin ditangkap saat menjabat
. Ia terjerat kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games. Setelah sempat melarikan diri, Nazaruddin akhirnya dibekuk di Cartagena, Kolombia. Dalam perkembangan kasusnya, pria yang kemudian divonis tujuh tahun penjara ini ikut menyeret nama-nama yang terlibat.
Salah satunya, Ketua Umum Partai Demokrat kala itu, Anas Urbaningrum. Penangkapan terhadap Anas antara lain berhasil berkat ‘nyanyian’ Nazaruddin. Anas
delapan tahun penjara oleh pengadilan.
Masih ingat saat masih dikenakan tarif sms Rp350 saat berkirim pesan? Jika sadar, tarif itu terus dibebankan kepada konsumen selama bertahun-tahun. Tapi, sekira tahun 2007, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
sejumlah operator mematok tarif tinggi yang dikoordinir oleh Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) lewat perjanjian kerja. Temuan penyidik KPPU, harga kompetitif layanan SMS
mestinya Rp114. Tetapi, dalam perjanjian kerjasama interkoneksi antar operator dipatok tidak boleh lebih rendah dari Rp250-350.
Sesuai proporsi dan pangsa pasar operator tersebut selama empat tahun praktik kartel SMS berlangsung, Telkomsel mengakibatkan kerugian konsumen terbesar yang mencapai Rp2,1 triliun. Disusul berturut-turut XL sebesar (Rp346 miliar), Telkom (Rp173,3 miliar), Bakrie Telecom (Rp62,9 miliar), Mobile-8 (Rp52,3 miliar), dan Smart (Rp0,1 miliar). Berdasarkan putusan tersebut, KPPU menghukum sanksi denda operator XL dan Telkomsel masing-masing senilai Rp25 miliar, Telkom (Rp18 miliar), Bakrie Telecom (Rp4 miliar), Mobile-8 Telecom (Rp5 miliar).
Atas keputusan KPPU itu, para operator keberatan dan mengajukan banding terhadap KPPU ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di PN Jakarta Pusat, majelis hakim membalik keadaan dengan membatalkan
alias memenangkan operator. Selanjutnya KPPU mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan pengadilan tersebut dan memenangi kasasi tersebut sebagaimana tertuang dalam Putusan MA perkara No. 9 K/Pdt.Sus-KPPU/2016 itu dijatuhkan pada 29 Februari 2016.
Ditetapkan sebagai tersangka, mantan calon Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengajuan permohonan praperadilan tersebut menuai pro dan kontra. Pasalnya, Pasal 77 KUHAP menyatakan penetapan tersangka bukan merupakan objek praperadilan.
Selama tujuh hari persidangan berlangsung, bukti dokumen, saksi, dan ahli dihadirkan, baik dari BG sebagai pemohon juga dari pihak KPK sebagai termohon. Penjagaan ketat juga dilakukan oleh kepolisian di sekitar lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kemudian, hakim tunggal PN Jaksel
mengabulkan sebagian permohonan praperadilan BG. Dalam pertimbangannya, Sarpin menafsirkan penetapan tersangka sebagai salah satu upaya paksa yang masuk dalam lingkup praperadilan. Dia menyatakan bahwa penetapan BG sebagai tersangka tidak sah.
Setelah Sarpin menyatakan bahwa penetapan tersangka juga merupakan objek praperadilan dan menyatakan Budi Gunawan tidak sah dan tidak sesuai dengan hukum, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
oleh permohonan praperadilan. Mereka yang mengajukan praperadilan antara lain, Jero Wacik vs KPK, Dahlan Iskan vs KPK, Hadi Purnomo vs KPK, Ilham Arief Sirajudin vs KPK, Novel Baswedan vs Polri, OC Kaligis vs KPK, Farhat Abbas vs Polri, Farhat Abbas vs Kejaksaan, Suryadarma Ali vs KPK, Suroso Atmo Martoyo vs KPK, Rusli Sibua vs KPK, dan Sutan Bhatoegana vs KPK.
hukuman OCK menjadi 10 tahun penjara yang sebelumnya pada pengadilan tingkat banding dihukum 7 tahun dan 5,5 tahun di tingkat pertama. Atas putusan tersebut, dipastikan pihak OCK mengajukan PK.
Untuk diketahui, OC Kaligis bersama-sama Gary, Gatot, dan Evy diputus bersalah karena terbukti memberikan uang sejumlah Sing$5000 dan AS$15000 kepada Tripeni, AS$5000 kepada Dermawan, AS$5000 kepada Amir, serta AS$2000 kepada Syamsir. Pemberian uang itu dimaksudkan agar majelis hakim PTUN Medan mengabulkan gugatan yang diajukan OC Kaligis dkk.
menggugat PT Securindo Packatama Indonesia (
) senilai ceban alias Rp10 ribu lantaran perusahaan pengelola parkir itu mengenakan tarif yang dinilai tidak sesuai dengan aturan pada 5 Februari 2010. Aturan yang dimaksud adalah Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 48 Tahun 2004 tentang Biaya Parkir pada Penyelenggaraan Fasilitas Parkir untuk Umum di Luar Jalan di Propinsi DKI Jakarta.
David meminta majelis hakim menghukum para tergugat secara tanggung renteng untuk membayar ganti kerugian Rp10 ribu dengan alasan jumlah itu merupakan selisih biaya ekstra yang harus dikeluarkan untuk tarif parkir yang tidak sesuai aturan. Gugatan serupa juga pernah dilemparkannya ke pihak secure parking dan dikenal dengan
Nikita Mirzani ditahan terkait kasus UU ITE dengan tuduhan pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh Dito Mahendra, kekasih Nindy Ayunda.
Ia ditahan di Rutan Kelas IIB mulai Selasa (25/10) setelah berkas perkara dinyatakan lengkap dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Serang.
Ketika proses penahanan berlangsung, selebritas yang kerap disapa Nyai itu sempat berteriak histeris lantaran tidak terima dengan penahanannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Siapa Dito, siapa Dito, siapa dia? Enggak mau, enggak mau," teriak Nikita di Kejari Serang, Selasa (25/10).
"Dibayar berapa kalian? Kalian jahat," tudingnya.
Penahanan ini menjadi salah satu dari daftar panjang kontroversi Nikita Mirzani. Artis 36 tahun ini pernah terlibat dengan sejumlah kasus hukum, dimulai dari dugaan penganiayaan hingga pencemaran nama baik.
Kasus Korupsi Pelindo II
Kasus Korupsi Pelindo II adalah kasus dugaan korupsi yang terjadi pada Perusahaan Pelabuhan Indonesia II atau Pelindo II. Kawanan koruptor diduga telah memeras uang dari kontraktor proyek pembangunan Pelindo di Jawa Timur. Pejabat tinggi yang terkait dalam kasus ini adalah pejabat senior di Pelindo II, namun belum menghasilkan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terhadap kasus ini.
Kasus Tabalong merupakan salah satu contoh kasus korupsi yang terjadi di daerah. Kasus ini terkait dengan dugaan korupsi pada proyek pembangunan jalan lintas di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Dalam kasus ini, terdapat beberapa pejabat pemerintah dan kontraktor yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Kasus Suap Meikarta
Kasus suap Meikarta adalah dugaan suap yang terjadi dalam proses pembangunan kawasan Meikarta. Hal ini dilakukan dalam upaya memuluskan proses administrasi perizinan pembangunan. Meikarta merupakan kawasan hunian vertikal seluas 500 hektare yang akan dibangun di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Terkait kasus ini beberapa pejabat publik dipanggil ke ranah kepolisian, salah satunya yaitu mantan Bupati Bekasi dan Direktur PT Lippo Cikarang Tbk, Tbk, Neneng Hasanah Yasin yang diduga meminta suap sebesar Rp13 miliar dalam proses perizinan lebih cepat. Selain itu, perbuatan tersebut juga diduga membawa dampak kerugian negara hingga triliunan rupiah. Kasus Suap Meikarta menjadi perhatian publik sebab merugikan negara dan menunjukkan tingginya tingkat korupsi dalam pengurusan izin pembangunan.
Kelompok Bersenjata Rampas Mobil Pekerja
Pada tahun 2020, sekelompok perampok bersenjata berhasil merampas mobil karyawan di sekitar area pertambangan. Mobil tersebut dipergunakan untuk angkutan pekerja. Kelompok ini membawa kabur mobil dan meninggalkan karyawan di lokasi perampasan. Kepolisian berhasil menangkap sebagian dari pelaku yang terlibat dalam aksi tersebut.
Kasus Korupsi E-KTP
Kasus Korupsi E-KTP adalah kasus dugaan korupsi yang terjadi dalam proyek pembuatan KTP elektronik atau E-KTP yang merupakan salah satu program prioritas pemerintah pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Disebutkan bahwa dalam kasus ini terdapat kerugian negara sebesar 2,3 triliun rupiah karena adanya tindak pidana korupsi dari para pejabat yang terkait dengan proyek ini. Salah satu pejabat terkait kasus ini adalah Setya Novanto yang kini telah divonis 15 tahun penjara.